Label Spotlight: Orange Cliff Records

Dalam edisi pertama Label Spotlight dimana kami memilih satu label dari sekian banyak label yang beroperasi hari ini untuk kami berikan apresiasi lebih dalam bentuk wawancara dan halaman khusus di situs kami. Dalam wawancara ini kami berbincang dengan Anindito AR dari Orange Cliff Records. Berikut adalah percakapan kami:

Bisa ceritakan sejarah Orange Cliff?

Orange Cliff awalnya hanya didirikan untuk mengakomodir rilisa piringan hitam split antara Sigmun, Jelaga dan SURI di tahun 2012. Kami awalnya tidak berencana untuk melanjutkan label ini setelah rilisan tersebut. Ide untuk merilis split ini datang dari Sigmun karena saya sendiri sempat menjadi manager mereka dari tahun 2011 hingga pertengahan 2020 dan saat itu kami sedang merencakan rilisan fisik untuk Sigmun. Selanjutnya kami berdiskusi dengan Faisal Yahu D dari Slap Bet Rcords dan Wan Hazril dari Cactus Recods (Sekarang Tandang) kebetulan saat itu mereka sedang mengerjakan 7" co release untuk Kelelawar Malam dan Ghaust, sehingga kami juga terpengaruh untuk melakukan hal yang sama (Merilis piringan hitam) namun sebenarnya piringan hitam Kelelawar Malam 12" merupakan rilisan yang memantapkan kami untuk merilis piringan hitam. 

Beberapa personil Sigmun awalnya tidak setuju dengan ide ini, menurut saya penolakan ini masuk akal namun saya terlalu sentimental untuk melepas ide merilis piringan hitam ini. Bagi saya, Sigmun, pada saat itu, merupakan band harus saya prioritaskan. Drummer pertama Sigmun merupakan teman saya dari Madrasah Aliyah dan kami berada dalam satu departemen. Maka dari itu saya telah mengikuti mereka dari hari-hari pertama mereka sebagai band, termasuk ketika mereka bermain di depan penonton musik kasidah di Taman Ismail Marzuki pada tahun 2012 (Hampir semua dari penonton ini menutup kupingnya ketika Sigmun bermain) dan mereka naik panggung tepat sebelum Mbah Surip (Beliau kemudian tos dengan Haikal ketiak Sigmun turun dari panngung) 

Sigmun tidak memiliki dana ketika saya mengidekan untuk merilis piringan hitam dan kami tidak lihai dalam memberikan pitch ke label-label lain. Selain itu, ego dari Sigmun juga mengharuskan mereka untuk dapat mengendalikan segala aspek dalam rilisan ini. Akhirnya kami memutuskan untuk tetap merilis piringan hitam secara independen namun kami mengajak band lain untuk mengurangi biaya produksi piringan hitam. Dari situ lahir ide untuk melakukan split 12", kami kemudian menghubungu Jelaga yang ternyata tertarik dengan ide ini. Kami juga menghubungi SURI, band yang sering manggung dengan kami untuk bergabung. Selama diskusi berjalan dengan dua band ini, terjadi kesalahpahaman ketika SURI dan Jelaga berasumsi proyek ini nantinya akan dibiayai oleh Sigmun sepenuhnya. Saya mengakui ini merupakan kesalahan komunikasi dari saya. Sejujurnya, saya, saat itu dan hingga hari ini, merupakan orang yang kikuk.

"Jadi apa nama labelnya" tanya Rito dari Suri saat itu. Kami bahkan tidak tahu bahwa kami sedang membuat label rekaman. Namun anak-anak cukup yakin bahwa tidak ada yang ingin membeli piringan hitam dari Sigmun, makanya perlu band-band lain untuk mendukung rilisan ini. Namun pemasalahan dana masih ada tentu saja. Akhirnya saya menjual gitar strat saya dan ikut patungan, saya juga mengajak/memaksa Rishad (Teman kuliah saya), Haikal, Mirfak dan Madyn (Yang merupakan fotografer Sigmun saat itu) untuk ikut patungan juga. Nama "Orange Cliff" sendiri merupakan sesuatu yang saya pikir akan cocok untuk judul lagu Dead Meadow, "Greensky Greenlake". Saya suka Dead Meadows. Kembali ke rilisan pertama kami, akhirnya kami mencari pressing plant di Jerman dan mencetak rilisan pertama kami dan juga menyelanggarakan acara "From the Misty Mountain Top" di Bukit Moko dan memutuskan untuk merilis rilisan lagi setelah itu. Lagipula, kami tidak mendapat untung dari split Sigmu, Jelaga dan SURI jadi saya rasa mungkin kita harus mencari kesempatan lain.

Apa hal tersulit dalam mengoperasikan label independen?

Konsistensi merupakan hal tersulit disini. Mempertahankan produk akhir menyangkut representasi visual dan produksi audio merupakan hal berbeda jika dibandingkan dengan menjalankan label secara konsisten, terutama jika kita memikirkan keuntungan finansialnya. Kami sendiri cukup konservatif dengan rilisan kami, Orange Cliff percaya bahwa suatu label memiliki batasan tertentu. Ada batasan-batasan kasat mata yang tidak boleh dilewati suatu label guna mempertahankan integritas karya musisinya. Saya rasa itu hal yang paling sulit, menegaskan "do's and dont's" untuk tiap musisi yang kami tangani dan tidak mengikuti tren dalam industri musik. Kami tidak ingin menjadi "bandwagon", kami tentu mendengarkan setiap ide baru tapi kami tidak ingin kehilangan jati diri Orange Cliff.

Anindito (Photo by Nitya Putrini)

Pendekatan apa yang diambil Orange Cliff dalam operasinya? Apakah Orange Cliff terlibat secara kreatif atau hanya produksi rilisan fisik saja? 

Rasanya kami berada di tengah untuk hal ini. Kami selalu mencari common ground ketika bekerja dengan musisi yang kami tangani. Tidak ada standar tertulis untuk rilisan kami, tapi tentu saja kami memiliki beberapa ide perihal seperti apa seharusnya rilisan Orange Cliff, paling tidak secara visual. Ada beberapa aspek yang tidak akan kami ganggu kecuali diminta oleh musisi terkait, seperti proses kreatif musik. Untuk presentasi visual, biasanya kami menanyakan apakah musisi terkait sudah memiliki konsep tertentu, kami juga tentu datang dengan konsep kami sendiri. Biasanya, kami membicarakan gap yang ada (Jika ada) dan pulang dengan satu konsep yang sama. Secara umum, Orange Cliff cukup terlibat dalam presentasi visual rilisan kami.

Apa yang membuat Orange Cliff bertahan hingga hari ini?

It’s all about the money, baby. Kiddin. We love music, and we genuinely love the music that we are releasing. Kecintaan kami terhadap musiknya merupakan hal pertama, hal lainnya menyusul. Saya tidak akan duduk sendirian tengah malam melipat insert cakram padat atau piringan hitam jika saya tidak cinta akan musik yang kami rilis. Kami ingin memberikan segalanya untuk artis-artis yang bekerja dengan kami.

Beberapa musisi Orange Cliff sudah ada yang menjadi musisi skala nasional, apa ada perasaan tertentu ketika musisi yang dibina oleh Orange Cliff bisa menjadi begitu sukses? Bahkan meninggalkan label dalam prosesnya

Orange Cliff merupakan label kecil dan kami sadar akan keterbatasan kami. Kadang kami merasa kasihan terhadap roster baru kami karena Orange Cliff seperti menawarkan "dead end" bagi para musisi ini. Namun saya rasa ini merupakan inferiority complex saya yang berbicara. Kecintaan kami terhadap musisi kami juga diikuti dengan kecintaan kami terhadap musiknya. Kami senang melihat musisi-musisi (Yang sudah berada di skala nasional) memilih Orange Cliff sebelum mereka mencapai "big break" mereka.

Idealnya, apa ruang lingkup pekerjaan label untuk Orange Cliff? 

Saya rasa ini merupakan simbiosis dua arah. Seperti yang saya bilang tadi, kami biasanya datang dengan referensi yang kami miliki, biasanya kami bergerak duluan dalam hal ini. Tentu saja kami tidak ingin mengatakan bahwa label harus memiliki input tertentu. Dengan materi yang kohesif dan direksi yang tepat, mungkin saja ada rilisan yang tidak perlu kami utak-atik dan langsung kami cetak. Intinya, kami hanya tidak ingin merilis sesuatu setengah-setengah, kami ingin memberikan semua yang bisa kami berikan, baik dalam bentuk ilmu, energi dan sumber daya.

Untuk materinya sendiri, kami tidak pernah rewel sejujurnya karena kami pasti sudah mendengarkan materi tersebut sebelumnya dan memutuskan untuk merilis musisi terkait. Kami sempat terlibat secara mendalam dalam produksi musik rilisan kami. Kepercayaan dan respect antar satu sama lain cukup penting dalam kasus ini. Kami memiliki beberapa pengalaman buruk dengan beberapa musisi yang tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan. Sialnya, meluruskan masalah ini juga sulit karena musisi terkait tidak melihat kami sebagai mitra. Saat itu kami bertanya, lalu mengapa mereka memilih untuk bekerja dengan Orange Cliff?

Haikal Azizi & Rajin Sihombing, an integral part of the label (Photo by Robby Wahyudi)

Berbicara mengani uang sekarang, apakah upah untuk label hari ini sudah layak? 

Tidak, tentu saja tidak. Kami menghasilkan cukup uang untuk membayar tagihan studio dan sejujurnya masing-masing dari kami hidup dari pekerjaan kantor kami masing-masing, bukan dari Orange Cliff. Sumber penghasilan terbesar kami adalah merch, namun saya rasa penghasilan yang paling reguler bagi kami adalah Spotoify, walau jumlahnya sangat sedikit. Sumber penghasilan terbesar kedua kami adalah dari kaset, namun karena kami mengimpor kaset kami dari luar negeri, marginnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan duplikasi CD, belum lagi tidak adanya scale bagi kami. Terlepas dari marginnya yang kecil, demand untuk kaset tetap tinggi, sehingga kami merasakan penghasilan yang cukup tinggi dari penjualan kaset.

Sebagai label, tentu Orange Cliff berinvestasi dengan rilisannya, mempertimbangkan jumlahnya yang tinggi, apakah investasi ini menguntungkan?

Sayangnya tidak. Terlepas dari jumlah rilisan kami yang banyak, sebagian besar dari rilisan tersebut sudah tidak beredar lagi wujud fisiknya sehingga sudah tidak ada pemasukan yang riil bagi kami. Rilisan-rilisan Orange Cliff dalam bentuk digital yang sekarang bisa ditemui di streaming platform tidak menghasilkan dana yang signifikan bagi kami.

Mengapa Orange Cliff memutuskan untuk mengimpor semua diskografinya ke The Store Front? 

The Storefront struck a sentimental chord with me I guess. They have that genuine gusto that resonates with music lovers alike.

Apakah cara mengoperasikan label akan berubah di masa depan?

Saya rasa apapun yang terjadi di masa depan, esensi label tidak akan berubah, terlepas dari medium kerjanya. Walau saya rasa label rekaman akan menjadi irelevan dalam waktu dekat...